
Singkawang, MC – Dentuman genderang, kepulan dupa, dan gemuruh sorak ratusan ribu pengunjung seolah menjadi bahasa universal yang menyatukan keramaian Festival Cap Go Meh Singkawang 2025.
Perayaan puncak Imlek yang digelar setiap tahun di Kota Singkawang ini bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi telah menjelma menjadi magnet wisata budaya kelas dunia yang menggerakkan roda ekonomi masyarakat.
Festival Cap Go Meh di Singkawang bukan hanya kebanggaan masyarakat Tionghoa, tetapi juga simbol keberagaman dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Di daerah yang dijuluki “Kota Seribu Kelenteng” sekaligus peraih Predikat Kota Tertoleran se-Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, perayaan Cap Go Meh telah menjelma menjadi pesta rakyat lintas budaya, di mana seluruh masyarakat tanpa melihat asal-usul, agama, atau etnis bersatu dalam satu semangat merayakan kebersamaan.

Megahnya Cap Go Meh bahkan diawali dengan Tarian Nusantara, yang menampilkan ragam busana, musik, dan gerak dari berbagai daerah di Indonesia. 17 paguyuban etnis yang ada di Singkawang turut ambil bagian, mempersembahkan penampilan terbaik mereka di hadapan ribuan penonton yang memadati jalan-jalan utama kota. Setiap tarian adalah simbol persaudaraan, setiap warna kostum adalah cerminan kekayaan budaya yang berpadu dalam harmoni.
Tahun ini, Singkawang kembali merayakan Cap Go Meh secara penuh setelah beberapa tahun sebelumnya dibatasi pandemi dan situasi politik nasional. Momentum itu semakin istimewa karena untuk pertama kalinya dalam sejarah, Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka hadir langsung membuka acara.

“Festival Cap Go Meh Kota Singkawang tahun 2025 mencatatkan sejarah pertama kali dihadiri Bapak Wakil Presiden RI untuk membuka langsung even tersebut. Antusias masyarakat dan wisatawan dalam dan luar negeri yang menyaksikan kemeriahan Cap Go Meh sangat luar biasa,” ujar Pj Wali Kota Singkawang, Sumastro, Rabu (12/02/2025).
Kemeriahan Cap Go Meh pun tak lepas dari kehadiran para Tatung — sosok spiritual yang dipercaya dirasuki roh leluhur dan kebal terhadap benda tajam. Atraksi Tatung yang sakral sekaligus menegangkan ini menjadi ikon utama Singkawang dan telah diakui dunia.

Pada tahun 2020, UNESCO menetapkan Tatung sebagai Warisan Budaya Tak Benda, memperkuat posisi Singkawang sebagai pusat perayaan Cap Go Meh terbesar di Indonesia.
“Kami punya aset para Tatung, itu yang tidak bisa dimiliki kota lain,” kata Mimi Hertilayani, Ketua Umum Pelaksana Festival Cap Go Meh 2025.
Selain parade Tatung, rangkaian ritual Cap Go Meh dimulai beberapa hari sebelumnya. Diawali dengan prosesi “cuci jalan” sebagai simbol pembersihan diri, kemudian ritual Buka Mata Replika 9 Naga, Pentas Seni Budaya dan EXPO, Pawai Lampion, hingga Upacara Ket Sam Thoi yang dipanjatkan sebagai doa dan harapan pada malam sebelum puncak acara. Sebagai penutup, digelar ritual pembakaran replika 9 naga yang diyakini sebagai pelepasan roh naga kembali ke alam.
Cap Go Meh Singkawang telah lama menembus batas regional. Ratusan ribu wisatawan domestik dan mancanegara berkunjung untuk menyaksikan langsung keunikan festival ini.
Atraksi spiritual dan visualnya yang khas menjadikan Cap Go Meh Singkawang masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI selama beberapa tahun berturut-turut.

Keunikan ini membuat Cap Go Meh Singkawang sejajar dengan festival-festival budaya dunia seperti Thaipusam di Malaysia atau Lantern Festival di Taiwan.
“Pemerintah daerah menjadikan Festival Cap Go Meh sebagai salah satu program unggulan untuk mengangkat nama Kota Singkawang ke level internasional,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kota Singkawang Heri Apriadi.
Dukungan juga datang dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Pj Gubernur Kalbar, Harisson menegaskan bahwa Pemprov berkomitmen penuh menjadikan Festival Cap Go Meh sebagai ikon budaya dan pariwisata unggulan Kalimantan Barat.
Peran Cap Go Meh dirasa penting dalam mempererat tali persaudaraan di tengah masyarakat khususnya Kalimantan Barat.
“Masuknya perayaan Cap Go Meh ke dalam KEN 2025, menjadi bukti bahwa Singkawang adalah salah satu kota dengan warisan budaya yang kaya, dan berpotensi besar di sektor pariwisata,” ungkapnya.
Di balik kemeriahannya, Cap Go Meh juga menjadi penggerak ekonomi kreatif masyarakat.
Perputaran uang dari sektor pariwisata, transportasi, UMKM, kuliner, dan akomodasi meningkat tajam selama dua pekan pelaksanaan festival. Hotel penuh, restoran padat, dan penjual suvenir kebanjiran rezeki.

Tak hanya menjadi pesta budaya penuh warna, Festival Cap Go Meh juga membawa berkah ekonomi bagi masyarakat Singkawang. Pesanan lampion meningkat hingga lima kali lipat dari biasanya yang dibuktikan dengan gemerlap warna-warni lampion menghiasi jalan-jalan kota.
Seperti yang dirasakan oleh Tomi, penjual musiman miniatur naga dan barongsai.
“Kalau Cap Go Meh tiba, rezeki ikut datang. Miniatur naga dan barongsai laris, dalam sehari bisa habis puluhan, padahal di hari biasa paling cuma dua atau tiga,” terangnya.
Geliat serupa turut dirasakan oleh para pelaku usaha kuliner lokal, menu andalan seperti mie Singkawang, choi pan, dan kue keranjang jadi incaran.
“Selama Cap Go Meh, pengunjung bisa mencapai ribuan per hari. Penghasilan kami bisa naik dua sampai tiga kali lipat,” tutur salah satu pedagang di sekitar Pasar Hongkong Singkawang.
Festival ini telah menjelma menjadi momentum kebangkitan ekonomi lokal sekaligus mempererat rasa kebersamaan di tengah keberagaman masyarakat Singkawang.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya yang berkesempatan hadir langsung menyaksikan kemeriahan festival tersebut. Ia menyebut, Cap Go Meh membawa berkah bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Festival Cap Go Meh adalah berkah bagi UMKM, pengusaha hotel, rental mobil, bahkan pengusaha odong-odong yang saya naiki. Dan berkah bagi seluruh masyarakat Kota Singkawang,” katanya.
Bima Arya juga menegaskan, Singkawang layak menyandang julukan “The Most Tolerant City”. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada Kota Singkawang yang telah menjadi etalase negeri dan inspirasi yang abadi bagi toleransi tanpa henti.

“Ada 514 kantor Bupati dan Wali kota di Indonesia, tapi hanya Singkawang yang berani memahat kata-kata luar biasa itu di kantornya. Di sini, perbedaan tidak menjauhkan, tapi menyatukan. Tidak menghancurkan, tapi justru memberkahi,” tegas Bima Arya.
Sementara Wakil Menteri Kebudayaan RI Giring Ganesha memuji kolaborasi masyarakat dan pemerintah kota yang sukses menghadirkan harmoni.
“Cap Go Meh Singkawang layak dicontoh daerah lain. Keberhasilannya karena kolaborasi dan niatan baik menjaga persatuan serta harmonisasi untuk semua,” ucap Giring.

Kesan mendalam juga datang dari wisatawan mancanegara. Jake Kouwe, turis asal Malaysia, mengaku kagum dengan keunikan Cap Go Meh Singkawang.
“Sangat berbeda dengan tempat lain. Ini mungkin perayaan terbesar di Asia. Orang Tionghoa dan lokal merayakannya bersama,” katanya.

Festival Cap Go Meh Singkawang kini tak hanya menjadi ajang budaya, tetapi juga cermin kebersamaan Indonesia. Di kota kecil pesisir Kalimantan Barat ini, dunia menyaksikan bagaimana perbedaan bisa menjadi kekuatan, dan bagaimana budaya menjadi jalan menuju kesejahteraan.
Di sini, keberagaman bukan hanya diterima, tetapi dirayakan dengan penuh kebanggaan. Cap Go Meh bukan sekadar pesta, ia adalah cerita tentang toleransi, semangat, dan cinta tanah air yang terus hidup dari generasi ke generasi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Bidang IKP/Kominfo Singkawang



