Singkawang, MC – Penandatanganan Komitmen Bersama Penguatan Toleransi oleh tujuh kepala daerah 10 besar Kota Tertoleran di Indonesia menjadi penanda berakhirnya Konferensi Kota Toleran (KKT) yang digelar SETARA Institute di Swiss-Belinn Hotel Singkawang, Minggu (16/11/2025). Selain kepala daerah, penandatanganan juga dilakukan oleh perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan seluruh peserta konferensi.

Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie, secara resmi menutup kegiatan yang selama dua hari menghadirkan diskusi mengenai praktik baik dan strategi penguatan toleransi di tingkat daerah. Ia menegaskan bahwa komitmen bersama tersebut bukan sekadar simbol, melainkan wujud tekad kolektif untuk memperkuat ruang-ruang sosial yang damai, inklusif, dan berkeadilan.

“Kita ingin pembangunan yang berkelanjutan di negeri kita. Mari mulai dari daerah kita masing-masing dengan menjaga toleransi, kerukunan, dan inklusivitas,” ujarnya.

Ia berharap forum tersebut tidak berhenti sebagai ajang pertemuan, tetapi menjadi pemicu lahirnya langkah nyata dalam menjaga keberagaman sebagai kekuatan bangsa.

Ia menekankan bahwa modernitas seharusnya mendorong masyarakat untuk meninggalkan cara pandang yang mempertentangkan perbedaan.

“Jangan lagi kita mengungkit-ungkit perbedaan. Keberagaman hadir bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disyukuri dan dirayakan,” katanya.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengapresiasi peran kepala daerah yang dinilainya berhasil menjaga daerah masing-masing dari praktik intoleransi.

Menurutnya, komitmen itu menunjukkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman demi mempertahankan kebhinekaan.

“Di banyak tempat, bahkan sebagian daerah di Indonesia, masih ada orang yang mengalami diskriminasi atau persekusi. Namun kehadiran bapak dan ibu di sini membuktikan bahwa Anda adalah sosok yang berani merawat keberagaman,” ujarnya.

Halili menegaskan bahwa Pancasila lahir sebagai fondasi untuk mengakomodasi perbedaan. Karena itu, nilai-nilainya harus dipahami sebagai amanah yang bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada para pendiri bangsa, tetapi juga kepada Tuhan.

“Pancasila bukan sekadar komitmen kebangsaan, tetapi juga akuntabilitas ketuhanan. Kita sudah memilih menjadi bangsa yang beragam. Ketika perbedaan itu dikabulkan Tuhan, mengapa justru kita bertengkar? Apa tidak malu kita pada Tuhan?” ujarnya. (Gun)

Bid. IKP/Kominfo